Rabu, 10 September 2014

DERMATITIS

dermatitis on hand

DERMATITIS

I.              DEFINISI

         Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa  (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.

II.           ETIOLOGI

         Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia (seperti detergen, asam, oli, semen), fisik (seperti sinar, suhu), mikro organisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti.

III.        KLASIFIKASI

         Berdasarkan etiologinya dermatitis dibedakan atas: dermatitis kontak, radio dermatitis, dermatitis medikamentosa. Berdasarkan morfologi dibagi atas dermatitis papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis madidans, dermatitis eksfoliativa. Berdasarkan bentuknya: dermatitis numularis dan berdasarkan lokalisasinya dibedakan atas dermatitis tangan, dermatitis intertriginosa, sedangkan berdasarkan stadium penyakit: dermatitis akut dan kronis.

IV.        PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI

         Banyak macam dermatitis yang belum diketahui patogenesisnya, terutama yang penyebabnya faktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang (dermatitis kontak, baik yang tipe alergik maupun iritan.
         Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan (substansi) yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergika.
         Dermatitis kontak alergika (DKA) adalah suatu dermatitis yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Alergen yang biasa menjadi penyebab DKA adalah bahan kimia dengan berat molekul rendah (500-1000 Dalton). Bahan-bahan tersebut antara lain nikel, krom, karet (lateks), obat topikal, plastik, kosmetik, dan tanaman. Sekitar 10% wanita alergi terhadap nikel, yang merupakan komponen utama perhiasan. Selain itu, DKA juga bisa terjadi karena bersentuhan dengan bahan kimia pada saat bekerja.
         Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang diperantarai oleh sel atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat, umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Sebelum seseorang pertama kali menderita DKA, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana (hapten) yang akan terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan dengan alergen yang sama sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
            Sedangkan pada dermatitis kontak iritan (DKI), kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
            Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.
            DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
            Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFά, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin.
            Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.

V.           GEJALA / MANIFESTASI KLINIS

         Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula difus, penyebaran dapat setempat, generalisata, bahkan universalis.
         Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans). Stadium subakut, eritema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis, tampak lesi kering, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul , mungkin juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis member gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu harus polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.




VI.        DIAGNOSIS

         Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terkadang pemeriksaan penunjang dibutuhkan seperti pada kasus dermatitis kontak alergi, dilakukan pemeriksaan patch test (uji tempel) dan tes DMG (dimetilglioksim) untuk menentukan penyebab.

VII.     PENATALAKSANAAN

         Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa yaitu menyingkirkan penyebabnya, tetapi seperti diketahui, penyebab dermatitis multifaktor, kadang juga tidak diketahui pasti, maka pengobatan bersifat simptomatis, yaitu dengan menghilangkan atau mengurangi keluhan dan menekan peradangan.
         Secara sistemik pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin atau antihistamin dikombinasi dengan anti serotonin, anti bradikinin, anti SRA. Pada kasus akut dan berat dapat diberi kortikosteroid. Secara topikal prinsip umumnya adalah dermatitis akut atau basah (madidans) harus diobati secara basah (kompres terbuka) bila subakut diberi lotio atau bedak kocok, krim, pasta atau limentum. Krim diberikan pada daerah yang berambut sedangkan pasta pada daerah yang tidak berambut, bila kronik diberi salap. Makin berat atau akut penyakitnya makin rendah persentase obat spesifik.

VIII.  TINJAUAN AKUPUNKTUR

         Akupunktur dapat digunakan sebagai pilihan terapi pada kasus dermatitis  (eksim). Menurut Traditional Chinese Medicine (TCM), dermatitis dikenal sebagai Shi Zhen (erupsi lembab)  bisa disebabkan faktor internal dan eksternal, dan  panas lembab merupakan penyebab utama dermatitis. Dermatitis akut disebabkan angin, lembab, dan panas yang penetrasi ke kulit, sedangkan dermatitis  kronik disebabkan stagnasi panas dalam darah dari seseorang yang menderita defisiensi darah. Terapi ditujukan untuk membersihkan panas dan lembab dari tubuh.
             
IX.        PEMILIHAN TITIK AKUPUNKTUR

         Titik yang dipilih untuk mengatasi dermatitis adalah : Dazhui GV 11, Quchi LI11, Sanyinjiau SP6, Shenmen HT7, sebagai titik utama dan sebagai titik tambahan dapat dipilih: Xuehay SP1 , Zusanli ST36.
Dazhui GV 11 dan Quchi LI11 untuk menghilangkan angin dan panas,  Sanyinjiau SP6  untuk membuang lembab dan panas, Shenmen HT7 untuk menghilangkan gatal dengan menenangkan  pikiran, Xuehay SP10 mengharmoniskan darah,  Zusanli ST36 meregulasi limpa dan lambung.

X.           PENELITIAN AKUPUNKTUR

         Pfab dkk membandingkan  efek akupunktur terhadap intensitas rasa gatal dan  ekspresi CD63 bashopil invitro  yang distimulasi dengan alergen pada 10  pasien dermatitis atopic yang dibagi atas 2  kelompok. Pada kelompok pertama (kasus)  diberikan akupunktur pada titik Quchi (LI 11), Hegu (LI 4), ZuSanLi (St 36) dan Xuehai (Sp 10), jarum ditinggal selama 20 menit. Akupunktur dilakukan 2 kali dalam seminggu, 10 kali terapi sebagai satu seri terapi. Sedangkan pada kelompok control sama sekalli tidak mendapat perlakuan apa-apa. Hasilnya memperlihatkan berkurangnya intensitas gatal dan  aktivasi basofil invitro  pada pasien dermatitis atopic setelah diakupunktur. Hasil ini sangat bermakna secara statistic bila dibanding kan dengan kelompok control.
         Pfab dkk meneliti efek akupunktur pada rasa gatal dan reaksi kulit  hipersensitif  tipe I pada 30 pasien dermatitis atopic yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang mendapat perlakuan akupunktur, kelompok yang mendapat placebopunktur dan kelompok yang tidak menerima perlakuan apapun. Pada kelompok akupunktur titik yang dipilih adalah Quchi LI11 dan Xuehay SP10, sedangkan pada kelompok yang mendapat plasebopunktur dipilih titik yang bukan merupakan titik akupunktur. Hasilnya memperlihatkan terjadinya  penurunan/ reduksi rasa gatal hipersensitifitas tipe I pada pasien dermatitis atopik yang signifikan dibanding pada plasebopunktur dan kelompok yang tidak mendapat perlakuan apa-apa.      
         Zhai Xueying dkk melakukan penelitian pada 100 kasus DKA dengan interferential current dan pemberian obat topikal pada titik akupunktur. Terapi dilakukan 1xsehari selama 20 menit, kelompok kontrol mendapat terapi oral tablet cetirizine hidrochloride 10mg/hari. Kedua kelompok diobservasi selama 20 hari. Hasil pada kelompok terapi tingkat keberhasilan mencapai 83% dan pada kelompok kontrol 46% (P<0.05).        
         Penelitian yang dilakukan Liu J dan Yang, terapi akupunktur pada 86 dan 139 pasien dengan neurodermatitis kronik menggunakan jarum yang mengelilingi lesi dan titik jauh dapat mencapai tingkat keberhasilan hampir 90%.
         Pothmann melaporkan serial kasus prospektif dari 10 pasien dengan dermatitis solaris, semua berespon terhadap stimulasi SP 10 dan LI 11 yang dilakukan pada 2 hari berturut-turut. Empat diantaranya, efek terapi bertahan sampai akhir musim panas.
         Liao melaporkan 4 kasus (3 kasus ringan dan 1 kasus berat) dari dermatitis kontak yang disebabkan poison ivy. Titik yang digunakan LI 11, SP 10, ST 36. Pada 3 kasus ringan, gatal berkurang dalam hitungan jam dan lesi berkurang dalam 2 hari. Sedangkan pada 1 kasus berat, gatal berkurang dalam 2 hari, dan lesi berkurang 4 hari kemudian. Hal ini lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
        
XI.        MEKANISME KERJA AKUPUNKTUR

         Secara medik telah diketahui bahwa penusukan titik akupunktur dapat merangsang serabut saraf A delta di kulit. Rangsang ini akan dihantarkan ke sel marginal di medulla spinalis yang kemudian diteruskan melalui serabut serotonergik (5-HT) ke stalk cell. Sel ini menghambat substansia gelatinosa (SG) dengan mekanisme enkefalinergik sehingga dapat mencegah rangsang gatal pada serabut saraf C. Rangsang penusukan secara sentral akan mengaktivasi hipotalamus hipofise sehingga melepaskan beta endorfin ke dalam darah dan cairan serebrospinalis sehingga meningkatkan homeostasis berbagai sistem termasuk sistem imun dan penyembuhan jaringan. Disekresikan pula adrenocorticotropic hormone (ACTH) untuk merangsang kelenjar adrenal membentuk kortisol. Dengan adanya kortisol dan endorfin dapat mempengaruhi sistem imun dengan menekan aktivasi sel T yang berperan dalam patogenesis DKA.
         Terapi akupunktur terbukti efektif melalui mekanisme neuroendocrineimmunesystem (NEIS) dan relatif aman meskipun digunakan untuk jangka waktu yang lama. Kekurangannya adalah efek terapi lebih lambat bila dibandingkan dengan obat, tetapi efeknya dapat bertahan lebih lama karena memperbaiki homeostasis tubuh terutama dalam hal sistem imun.




DAFTAR PUSTAKA


1.        O’Connor J, Bensky D. Neuro Dermatitis. Accupunture A Comprehensif Text. Island Press Chicago. 1981. Hal. 665
2.        Yin G, Liu Z. Neuro Dermatitis. Advance Modern Chinese Acupunture Therapy. New World Press. 1991. Hal. 537 – 539.
3.        Djuanda S, Sularsito SA. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.FKUI. Edisi ke-10. Jakarta: 1999. Hal 126- 137
4.        Jin GY, Jin JX, Jin LJ. Neuro Dermatitis. Contemporary Medical Acupuncture – A System Approach. Higher Education Press. 2006. Hal 410
5.        Filshie J, White A. Dermatitis. Medical Acupuncture. Churchill Livingstone Elsevier. 2004. Hal 276-277
6.        Qiwei Z, Chunyi Q. Neurological Dermatitis. Clinical Wonder Acupuncture-Moxibustion. Foreign Languages Press Beijing. 2002.  Hal 525-526.
7.        Pfab F, Georgios I, Athanasiadis, Marp JH, Fuqin J, Heuser B et al. Effect of Acupuncture on Allergen-Induced Basophil Activation in Patients with Atopic Eczema: THE JOURNAL OF ALTERNATIVE AND COMPLEMENTARY MEDICINE .Vol 17, No 4, 2011, pp. 309–314
8.        Pfab F, Marp JH, Gatti A, Fuqin J, Athanasiadis GI, Irnich D dkk. Influence of acupuncture on type I hypersensitivity itch and the wheal and flare response in adults with atopic eczema – a blinded, randomized, placebo-controlled, crossover trial. Allergy 2010; 65: 903–910.
9.        Anonim. Acupuncture and dermatitis. Disitasi dari: http://www.internethealthlibrary.com/Health-problems/Dermatitis%20-%20researchAltTherapies.htm#Acupunture.
10.    Chen H. Treating eczema with traditional Chinese medicine. International Journal of Acupuncture. 2007: 16(3); 201.
11.     O’Connor J, Bensky D. Eczema. In: Acupuncture a Comprehensive Text. Chicago: Eastland Press, 1981: 663.
12.    Filshie J, White A. Eczema and dermatitis. In: Medical Acupuncture, a Western Scientific Approach. Churchill Livingstone. 1998: 276-7.
13.    Liao SJ. Acupuncture for poison ivy contact dermatitis: a clinical case report. New York University Dental College. New York. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2898197
14.    Xueying Z, et al. Analysis of the curative effect of allergic contact dermatitis treating with interferential current and topical medicine delivered through acupuncture points. Journal of Chinese Clinical Medicine. Vol.4 No.7. 2009. Disitasi dari: http://www.cjmed.net/journal/articleInfo/id/391
15.    Widya DK, dkk. Mekanisme kerja akupunktur. Dalam: Akupunktur Medik dan Perkembangannya. Kolegium Akupunktur Indonesia. Jakarta. 2009: 3-5.
16.    Anonim. Glucocorticoid. Disitasi dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Glucocorticoid#Immune
17.    Pedersen BK, Morch H. β-endorphin and the immune system-possible role in autoimmune diseases. In: Autoimmunity. 1995: 21(3); 161-171. Disitasi dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8822274



0 komentar:

Posting Komentar