I.
DEFINISI
Dermatitis
adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi)
dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya
beberapa (oligomorfik). Dermatitis
cenderung residif dan menjadi kronis.
II.
ETIOLOGI
Penyebab dermatitis dapat berasal dari
luar (eksogen), misalnya bahan kimia (seperti detergen, asam, oli, semen), fisik
(seperti sinar, suhu), mikro organisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam
(endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya
yang pasti.
III.
KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologinya dermatitis
dibedakan atas: dermatitis kontak, radio dermatitis, dermatitis medikamentosa. Berdasarkan
morfologi dibagi atas dermatitis papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis
madidans, dermatitis eksfoliativa. Berdasarkan bentuknya: dermatitis numularis
dan berdasarkan lokalisasinya dibedakan atas dermatitis tangan, dermatitis
intertriginosa, sedangkan berdasarkan stadium penyakit: dermatitis akut dan
kronis.
IV.
PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI
Banyak macam dermatitis yang belum
diketahui patogenesisnya, terutama yang penyebabnya faktor endogen. Yang telah
banyak dipelajari adalah tentang (dermatitis kontak, baik yang tipe alergik
maupun iritan.
Dermatitis kontak adalah dermatitis
yang disebabkan oleh bahan (substansi) yang menempel pada kulit. Dikenal dua
macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak
alergika.
Dermatitis kontak alergika (DKA) adalah
suatu dermatitis yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses
sensitisasi. Alergen yang biasa menjadi penyebab DKA adalah bahan kimia
dengan berat molekul rendah (500-1000 Dalton ).
Bahan-bahan tersebut antara lain nikel, krom, karet (lateks), obat topikal,
plastik, kosmetik, dan tanaman. Sekitar 10% wanita alergi terhadap nikel, yang
merupakan komponen utama perhiasan. Selain itu, DKA juga bisa terjadi karena
bersentuhan dengan bahan kimia pada saat bekerja.
Mekanisme terjadinya
kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang diperantarai oleh sel
atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat,
umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Sebelum seseorang
pertama kali menderita DKA, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik
reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan
bahan kimia sederhana (hapten) yang akan terikat dengan protein, membentuk
antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel
Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan antigen
yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi
secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar ke seluruh tubuh
sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.
Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Sedangkan
periode saat terjadinya pajanan dengan alergen yang sama sampai timbulnya
gejala klinis disebut fase elitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
Sedangkan pada dermatitis
kontak iritan (DKI), kelainan
kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak
membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan
merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet actifating
factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan
leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga
bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta
mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga
memperkuat perubahan vaskuler.
DAG dan second messenger lain
mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1)
dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan
sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan
stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan
HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit
juga melepaskan TNFά, suatu
sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,
menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan
gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema,
edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan
kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.
V.
GEJALA / MANIFESTASI KLINIS
Pada umumnya penderita dermatitis
mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat
tegas dapat pula difus, penyebaran dapat setempat, generalisata, bahkan
universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berupa
eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah
(madidans). Stadium subakut, eritema berkurang, eksudat mengering
menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis, tampak lesi kering, skuama,
hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul , mungkin juga terdapat erosi atau
ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja
sejak awal suatu dermatitis member gambaran klinis berupa kelainan kulit
stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu harus
polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.
VI.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terkadang pemeriksaan
penunjang dibutuhkan seperti pada kasus dermatitis kontak alergi, dilakukan
pemeriksaan patch test (uji tempel)
dan tes DMG (dimetilglioksim) untuk
menentukan penyebab.
VII.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan yang tepat didasarkan atas
kausa yaitu menyingkirkan penyebabnya, tetapi seperti diketahui, penyebab
dermatitis multifaktor, kadang juga tidak diketahui pasti, maka pengobatan
bersifat simptomatis, yaitu dengan menghilangkan atau mengurangi keluhan dan
menekan peradangan.
Secara sistemik pada kasus ringan dapat
diberikan antihistamin atau antihistamin dikombinasi dengan anti serotonin,
anti bradikinin, anti SRA. Pada kasus akut dan berat dapat diberi
kortikosteroid. Secara topikal prinsip umumnya adalah dermatitis akut atau
basah (madidans) harus diobati secara basah (kompres terbuka) bila subakut
diberi lotio atau bedak kocok, krim, pasta atau limentum. Krim diberikan pada
daerah yang berambut sedangkan pasta pada daerah yang tidak berambut, bila
kronik diberi salap. Makin berat atau akut penyakitnya makin rendah persentase
obat spesifik.
VIII.
TINJAUAN AKUPUNKTUR
Akupunktur dapat digunakan sebagai pilihan
terapi pada kasus dermatitis (eksim).
Menurut Traditional Chinese
Medicine (TCM), dermatitis dikenal sebagai Shi Zhen (erupsi lembab)
bisa disebabkan faktor internal dan eksternal, dan panas lembab merupakan penyebab utama
dermatitis. Dermatitis akut disebabkan angin, lembab, dan panas yang penetrasi
ke kulit, sedangkan dermatitis kronik
disebabkan stagnasi panas dalam darah dari seseorang yang menderita defisiensi
darah. Terapi ditujukan untuk membersihkan panas dan lembab dari tubuh.
IX.
PEMILIHAN TITIK AKUPUNKTUR
Titik yang dipilih untuk mengatasi
dermatitis adalah : Dazhui GV 11, Quchi LI11, Sanyinjiau SP6, Shenmen HT7, sebagai
titik utama dan sebagai titik tambahan dapat dipilih: Xuehay SP1 , Zusanli
ST36.
Dazhui GV 11 dan Quchi LI11
untuk menghilangkan angin dan panas,
Sanyinjiau SP6 untuk membuang
lembab dan panas, Shenmen HT7 untuk menghilangkan gatal dengan menenangkan pikiran, Xuehay SP10 mengharmoniskan
darah, Zusanli ST36 meregulasi limpa dan
lambung.
X.
PENELITIAN AKUPUNKTUR
Pfab dkk
membandingkan efek akupunktur terhadap
intensitas rasa gatal dan ekspresi CD63
bashopil invitro yang distimulasi dengan
alergen pada 10 pasien dermatitis atopic
yang dibagi atas 2 kelompok. Pada
kelompok pertama (kasus) diberikan
akupunktur pada titik Quchi (LI 11), Hegu (LI 4), ZuSanLi (St 36) dan Xuehai
(Sp 10), jarum ditinggal selama 20 menit. Akupunktur dilakukan 2 kali dalam
seminggu, 10 kali terapi sebagai satu seri terapi. Sedangkan pada kelompok
control sama sekalli tidak mendapat perlakuan apa-apa. Hasilnya memperlihatkan
berkurangnya intensitas gatal dan
aktivasi basofil invitro pada
pasien dermatitis atopic setelah diakupunktur. Hasil ini sangat bermakna secara
statistic bila dibanding kan
dengan kelompok control.
Pfab dkk meneliti efek akupunktur pada
rasa gatal dan reaksi kulit
hipersensitif tipe I pada 30
pasien dermatitis atopic yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang
mendapat perlakuan akupunktur, kelompok yang mendapat placebopunktur dan
kelompok yang tidak menerima perlakuan apapun. Pada kelompok akupunktur titik
yang dipilih adalah Quchi LI11 dan Xuehay SP10, sedangkan pada kelompok yang
mendapat plasebopunktur dipilih titik yang bukan merupakan titik akupunktur. Hasilnya
memperlihatkan terjadinya penurunan/
reduksi rasa gatal hipersensitifitas tipe I pada pasien dermatitis atopik yang
signifikan dibanding pada plasebopunktur dan kelompok yang tidak mendapat
perlakuan apa-apa.
Zhai Xueying dkk melakukan penelitian pada 100 kasus DKA dengan interferential current dan pemberian
obat topikal pada titik akupunktur. Terapi dilakukan 1xsehari selama 20 menit,
kelompok kontrol mendapat terapi oral tablet cetirizine hidrochloride 10mg/hari. Kedua kelompok diobservasi
selama 20 hari. Hasil pada kelompok terapi tingkat keberhasilan mencapai 83%
dan pada kelompok kontrol 46% (P<0.05).
Penelitian yang dilakukan Liu
J dan Yang, terapi akupunktur pada 86 dan 139 pasien dengan neurodermatitis
kronik menggunakan jarum yang mengelilingi lesi dan titik jauh dapat mencapai
tingkat keberhasilan hampir 90%.
Pothmann melaporkan serial
kasus prospektif dari 10 pasien dengan dermatitis solaris, semua berespon
terhadap stimulasi SP 10 dan LI 11 yang dilakukan pada 2 hari berturut-turut.
Empat diantaranya, efek terapi bertahan sampai akhir musim panas.
Liao melaporkan 4 kasus (3 kasus
ringan dan 1 kasus berat) dari dermatitis kontak yang disebabkan poison ivy. Titik yang digunakan LI 11,
SP 10, ST 36. Pada 3 kasus ringan, gatal berkurang dalam hitungan jam dan lesi
berkurang dalam 2 hari. Sedangkan pada 1 kasus berat, gatal berkurang dalam 2
hari, dan lesi berkurang 4 hari kemudian. Hal ini lebih cepat dari yang
diperkirakan sebelumnya.
XI.
MEKANISME KERJA AKUPUNKTUR
Secara medik telah
diketahui bahwa penusukan titik akupunktur dapat merangsang serabut saraf A
delta di kulit. Rangsang ini akan dihantarkan ke sel marginal di medulla
spinalis yang kemudian diteruskan melalui serabut serotonergik (5-HT) ke stalk cell. Sel ini menghambat
substansia gelatinosa (SG) dengan mekanisme enkefalinergik sehingga dapat
mencegah rangsang gatal pada serabut saraf C. Rangsang penusukan secara sentral
akan mengaktivasi hipotalamus hipofise sehingga melepaskan beta endorfin ke
dalam darah dan cairan serebrospinalis sehingga meningkatkan homeostasis
berbagai sistem termasuk sistem imun dan penyembuhan jaringan. Disekresikan
pula adrenocorticotropic hormone
(ACTH) untuk merangsang kelenjar adrenal membentuk kortisol. Dengan adanya
kortisol dan endorfin dapat mempengaruhi sistem imun dengan menekan aktivasi
sel T yang berperan dalam patogenesis DKA.
Terapi
akupunktur terbukti efektif melalui mekanisme neuroendocrineimmunesystem (NEIS) dan relatif aman meskipun
digunakan untuk jangka waktu yang lama. Kekurangannya adalah efek terapi lebih
lambat bila dibandingkan dengan obat, tetapi efeknya dapat bertahan lebih lama
karena memperbaiki homeostasis tubuh terutama dalam hal sistem imun.
DAFTAR PUSTAKA
1.
O’Connor
J, Bensky D. Neuro Dermatitis. Accupunture A Comprehensif Text. Island Press
Chicago. 1981. Hal. 665
2.
Yin
G, Liu Z. Neuro Dermatitis. Advance
Modern Chinese Acupunture Therapy. New World Press. 1991. Hal. 537 – 539.
3.
Djuanda S,
Sularsito SA. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.FKUI. Edisi ke-10.
Jakarta: 1999. Hal 126- 137
4.
Jin GY, Jin
JX, Jin LJ. Neuro Dermatitis. Contemporary Medical Acupuncture – A
System Approach. Higher Education Press. 2006. Hal 410
5.
Filshie J, White A. Dermatitis. Medical Acupuncture.
Churchill Livingstone Elsevier. 2004. Hal 276-277
6.
Qiwei Z, Chunyi Q. Neurological Dermatitis. Clinical
Wonder Acupuncture-Moxibustion. Foreign Languages Press Beijing . 2002. Hal 525-526.
7.
Pfab F, Georgios I, Athanasiadis, Marp JH, Fuqin J,
Heuser B et al. Effect of Acupuncture on Allergen-Induced Basophil Activation
in Patients with Atopic Eczema: THE JOURNAL OF ALTERNATIVE AND COMPLEMENTARY
MEDICINE .Vol 17, No 4, 2011, pp. 309–314
8.
Pfab F, Marp JH, Gatti A, Fuqin J, Athanasiadis GI,
Irnich D dkk. Influence of acupuncture on type I hypersensitivity itch and the
wheal and flare response in adults with atopic eczema – a blinded, randomized,
placebo-controlled, crossover trial. Allergy 2010; 65: 903–910.
9.
Anonim. Acupuncture and dermatitis. Disitasi dari: http://www.internethealthlibrary.com/Health-problems/Dermatitis%20-%20researchAltTherapies.htm#Acupunture.
10. Chen
H. Treating eczema with traditional Chinese medicine. International Journal of
Acupuncture. 2007: 16(3); 201.
11. O’Connor J, Bensky D. Eczema. In: Acupuncture
a Comprehensive Text. Chicago :
Eastland Press, 1981: 663.
12. Filshie
J, White A. Eczema and dermatitis. In: Medical Acupuncture, a Western
Scientific Approach. Churchill Livingstone. 1998: 276-7.
13. Liao
SJ. Acupuncture for poison ivy contact dermatitis: a clinical case report. New York University Dental
College . New York . http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2898197
14. Xueying
Z, et al. Analysis of the curative
effect of allergic contact dermatitis treating with interferential current and topical
medicine delivered through acupuncture
points. Journal of Chinese Clinical Medicine. Vol.4 No.7. 2009. Disitasi dari: http://www.cjmed.net/journal/articleInfo/id/391
15. Widya DK, dkk. Mekanisme kerja akupunktur.
Dalam: Akupunktur Medik dan Perkembangannya. Kolegium Akupunktur Indonesia .
Jakarta . 2009:
3-5.
17. Pedersen BK, Morch H. β-endorphin and the
immune system-possible role in autoimmune diseases. In: Autoimmunity. 1995:
21(3); 161-171. Disitasi dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8822274
0 komentar:
Posting Komentar